Sibuk?
~ Diary oleh Jenny Jusuf ~
“Jen, ini covernya, ada 5 alternatif. Soal ngerapiin biar penerbit aja, di sini
susah euy, mati lampu mulu. Gw nggak bisa detail. Semoga kepake…”
Saya bengong berat baca e-mail yang
singgah di inbox saya siang itu. Tiga
hari
sebelumnya, setelah merasakan euforia berlebihan karena naskah Kumpulan Cerpen
saya (akhirnya) lolos seleksi penerbit, saya mengirim pesan pendek ke seorang
sahabat slash mantan dosen Desain
Komunikasi Visual yang lumayan jago
dalam hal desain-mendesain. Saya minta bantuannya buat merancang ilustrasi untuk alternatif cover buku saya.
Sejujurnya, saya sempat ragu. Sahabat saya lagi ada di Dilli, Timor Leste,
dalam rangka menunaikan panggilan hati. Sedikit banyak –dari
cerita-ceritanya—saya mengetahui ‘parah’nya kondisi infrastruktur negara baru
itu. Air sulit, harga barang kebutuhan pokok melambung, lingkungan dihuni
anak-anak muda begajulan, sampai masalah kelangkaan listrik.
Yup, saking seringnya sambungan
listrik terputus, sahabat saya sampai berujar, “Gue mendingan nggak ada air
deh, daripada nggak ada listrik. Kalau nggak ada air, paling parah nggak mandi.
Kalau tanpa listrik, nggak bisa kerja.”
Saya juga tahu, kesibukan yang dijalaninya di
sana nggak sedikit. Mulai dari ngerjain tugas rutin harian, ngajar
kursus bahasa Inggris ke pemuda
setempat, nyusun program kerja, bikin newsletter, sampai ngurus segala hal
yang berhubungan ama media. Plus kondisi environment yang nggak mendukung yang selalu
bikin mood naik-turun. Saya nggak berani berharap banyak.
Saya kirim pesan pendek itu 29 Januari malam, plus petunjuk singkat soal rancangan yang saya pengen. Saya kasih tenggat waktu seminggu, lagi-lagi tanpa
berharap banyak.
Tanggal 31 Januari siang, saya menemukan e-mail di atas dalam inbox saya, beserta 5 buah desain yang
dilampirin dalam format CorelDraw X3.
Saya cuman bisa melongo jaya saking surprised-nya.
Koreksi. Saking surprised DAN nggak nyangka. *eh, sama aja, ya?*
Yang langsung terbayang di benak saya adalah:
sosok sahabat saya yang duduk dalam kegelapan, berusaha bikin desain tanpa listrik dengan
cuman disokong baterai laptop yang nggak seberapa dayanya.
Haduuuh. Terima kasih banyak, Jeng... you are the best!
;-)
Ini ngingetin saya pada seorang sahabat lain, yang taon lalu saya kirimi e-mail berisi belasan pertanyaan dalam
rangka mewawancarainya buat rubrik
‘Profil’ di majalah gereja edisi terbaru. Nggak ada yang istimewa dalam wawancara itu. Yang bikin wawancara itu super-duper-spesial adalah
karena sahabat saya sedang bertugas di Belanda selama setaon. Jauh ya, bow.
Jabatannya? Presiden Organisasi Mahasiswa
Farmasi Sedunia.
Job
desc-nya?
Apa aja yang mengharuskannya pergi dari satu negara ke negara lain kayak kita belanja ke Cihampelas
Walk atau Blok M. Sangat sering. Sangat sibuk.
Dalam salah satu sesi curhat, ia sempet cerita kalo tidur selama 2 jam semalam itu udah biasa buat dia. Kadang malah nggak tidur sama sekali. Belanda
–yang merupakan base camp-nya selama
menunaikan masa jabatan—cuman berfungsi
sebagai tempat ‘transit’ belaka. Keliling dunia (yang dianggap kemewahan tiada
tara oleh banyak orang) udah dialaminya, tapi dia nggak pernah bisa membanggakan kunjungannya ke negara-negara
itu.
“Apa yang mau diceritain, lha gue kalo pergi-pergi cuma nyantol di
dua tempat: bandara ama hotel. Nggak sempet
kemana-mana. Balik ke Belanda juga cuman nge-drop baju
kotor. Nggak tidur dan nggak makan mah udah biasa,”
ceritanya geli.
Whoa. Itulah yang saya namakan
sibuk.
Jujur, saya sempat merasa sungkan waktu mengiriminya belasan
pertanyaan dalam kondisi serba-ribet kayak gitu.
Nggak enak hati.
Mau tahu, berapa waktu yang dibutuhin sahabat saya buat menjawab SEMUA pertanyaan wawancara
yang saya kirim itu?
Dua hari, bok. DUA HARI.
Jawabannya panjang-panjang pula. Lengkap dan
detil dari A sampe Z, sampe saya melongo dengan
suksesnya di depan komputer.
Duh... Terima kasih Tuhan, buat sahabat-sahabat nan baik
hati ini.
Tapi, sebagaimana hidup penuh dengan kejutan
dan warna, selain hal-hal menyenangkan tersebut, saya juga pernah ngalamin kejadian yang bikin pengen
garuk-garuk tanah.
Sebulan yang lalu (sebulan setengah,
tepatnya), saya mengirim e-mail
berisi delapan pertanyaan ke seorang teman atas permintaan Bapak Gembala.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu nantinya mau dirangkum dan disadur menjadi sebuah artikel buat majalah gereja edisi
terbaru.
Saya mengirim e-mail. Saya menunggu. Saya mengingatkan. Saya mengingatkan lagi.
Dan mengingatkan LAGI. Saya mendesak. Saya mengiriminya SMS. Saya mengontaknya
melalui kanal maya.
Jawaban nggak kunjung datang karena sebuah alasan yang
sangat klise: SIBUK. Nggak sempat.
Kesibukannya apa? Nggak jelas. Dan saking
seringnya dia menggunakan alasan yang sama, saya sampai ogah bertanya.
Berulang kali saya ngingetin kalo tenggat
waktu penerbitan makin tipis. Tapi hasilnya nihil. Yang saya dapetin cuman permohonan maaf disertai
alasan dan janji, “Nanti, deh, minggu depan.”
Sayangnya, ‘minggu depan’ versi saya dan dia
ternyata berbeda. ‘Minggu depan’ yang saya ketahui adalah, seminggu SETELAH
percakapan terakhir. ‘Minggu depan’ versi teman saya, mungkin seminggu
setelah... ...entah kapan. Pokoknya depaa…an banget. Hehehe.
Setelah frustrasi mengejar dan menunggu tanpa
hasil, akhirnya saya menceritakan masalah tersebut ke Bapak Gembala. Apa boleh
buat, artikel itu terpaksa dibatalin. Untung
saya masih punya tulisan cadangan buat ngisi slot yang kosong, walau sedikit terkesan ‘maksa’.
Bagaimanapun, bukan saya namanya kalau nggak
ngeyel. ;-D
Di detik-detik terakhir pembatalan, saya sempet mengirim pesan ke si
teman melalui kontak cakap Yahoo
Messenger. Menanyakan kapan dia
akan memberi jawaban yang udah tertunda (sangat) lama itu.
Selang beberapa menit, balasan muncul di
layar komputer.
Aduh iya nih, belum bisa. Sorry ya. Lagi tied up nih...
Saya cuman tersenyum simpul. Sempet tergoda buat nanya, ‘emangnya sesibuk apa, sih? Ngapain
aja sampe ngejawab pertanyaan segitu doang nggak ada waktu sama sekali?’, tapi akhirnya saya urungkan.
Sambil membiarkan kalimat itu tetap
bertengger di sana, saya membuka e-mail.
Beberapa hari sebelumnya saya mengirim e-mail berisi ucapan terima kasih ke
sahabat saya di tanah Timor, sekaligus nanyain nomor rekeningnya. Walau ilustrasi cover yang dibuatnya masih harus melalui tahap seleksi ama penerbit (belum pasti
diterima), saya pengen
menghargai jerih
payahnya dengan membayarnya secara profesional.
E-mail balasan dari sahabat saya
berada di urutan teratas inbox. Saya
membukanya, menelusuri kalimat di dalamnya dengan cepat, dan lagi-lagi
tersenyum simpul. Tapi
senyum
kali ini punya makna yang berbeda.
No need to pay,
it's a present.
Salahkah saya, kalo saya berharap bahwa mereka yang mengaku
‘ingin memberi yang terbaik bagi Tuhan’ bisa lebih menghargai makna sebuah tanggung jawab seperti
sahabat-sahabat saya ini? Yang meskipun sibuk luar biasa, tetap nggak mengabaikan pentingnya
sebuah janji, bahkan bersedia ‘memberi lebih’? Yang nggak mendewakan kesibukan pribadi dan bersedia
mengesampingkan rasa tidak nyaman demi kepentingan pihak lain, walau tindakan
itu nggak ngasih keuntungan apa-apa buatnya?
Kita udah ngedapetin anugerah dan kasih karunia yang begitu besar
dari Sang Penebus. Kita punya firman
yang sanggup mengubah batu jadi roti. Kita mewarisi kuasa dari tempat Yang
Mahatinggi. Seharusnya kita dapat berbuat lebih baik. Seharusnya kita-lah yang jadi contoh.
Ah, seandainya. ;-)
No comments:
Post a Comment
copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com