Pernah nggak kamu denger ungkapan “Christ is All in All”, atau dalam bahasa Indonesianya “Kristus adalah semua di dalam semua”? Kira-kira menurut kamu apa sih maknanya? Semboyan itu dilontarkan pertama kali ama seorang pendeta Kristen Puritan di abad ke-17 yang bernama Jeremiah Burroughs. Sepanjang hidupnya, Burroughs adalah orang Kristen yang taat pada Tuhan, tapi berani menentang hal-hal yang dianggapnya salah dalam gereja. Salah satunya adalah soal denominasi. Burroughs boleh dibilang orang pertama yang berani bilang kalo gereja baru bebas dibentuk oleh jemaat yang membutuhkannya sesuai Firman Tuhan tanpa perlu memiliki keseragaman sama persis dengan paham atau prinsip gereja yang udah ada, atau “yang di atasnya.” (cs)
Jeremiah Burroughs
“Biarpun Berbeda-beda, Bisa Tetap Satu!”
Pemikiran terbesarnya ini sekarang kita sebut dengan Kongregasionalisme. Intinya, setiap gereja setempat boleh jadi independen: boleh berdiri sendiri alias otonom. Karena keberaniannya menentang otoritas gereja yang dulu luar biasa berkuasa ini, hidup Jeremiah Burroughs pun sering dipersulit.
Burroughs, yang dilahirkan di penghujung abad ke-16 ini, sempat mengenyam pendidikan di Emmanuel College, Cambridge. Ia dapet gelar master dari Universitas tersebut dan mengajar di sana. Dari awalnya, Burroughs udah banyak ngomong pendapat-pendapat tajam dan bertindak secara kritis ngelawan paham dan prinsip yang ia anggap salah tapi udah lazim di sana. Mungkin beberapa diantaranya kelewat batas bagi otoritas Universitas saat itu, sampe akhirnya, karena kelakuannya, Burroughs dipaksa mundur dari posisinya.
Di tahun 1631 ia menjabat Rektor di Tivetshall, Norfolk. Tapi lagi-lagi karena sikapnya yang sering menentang khalayak umum, ia dipecat lima taon setelahnya. Karena nggak punya kerjaan lagi, Burroughs yang masih muda nyobain untuk hidup di Rotterdam.
Di Belanda, ia mengajar di sebuah gereja berbahasa Inggris. Ia lumayan disukai dan disegani di sana. Tapi ia tetep pengen pulang ke Inggris. Pecahnya perang saudara di daratan Inggris tahun 1640-an ternyata jadi berkat terselubung buatnya. Karena para Uskup gereja udah nggak terlalu berkuasa lagi seperti sebelumnya, ia bisa kembali tanpa perlu ketakutan.
Ia mulai melayani jemaat di Stepney dan Cripplegate di kota London. Keduanya waktu itu adalah dua jemaat paling gede di seluruh Inggris. Di sini paham kongregasionalismenya mulai terasah, soalnya Burroughs dapet dukungan dari rekan-rekannya di jemaat itu, biarpun memang nggak banyak. Salah satunya itu Oliver Cromwell, pemimpin militer dan Lord Protector Persemakmuran Inggris yang sangat dihormati. Biarpun begitu, musuh-musuhnya juga banyak, yaitu mereka yang merasa semua jemaat gereja di manapun harus tunduk dalam satu paham yang berlaku saat itu, dan Burroughs banyak mendapatkan serangan secara intelektual dari mereka. Sebagian diantaranya sama sekali nggak punya dasar yang kuat.
Tapi Jeremiah Burroughs punya gagasan lain. Katanya: “Selama orang merasa perdamaian agama nggak akan pernah ada tanpa adanya satu—dan hanya satu—pendapat umum, selama mereka masih menganggap pedang sebagai alat Tuhan untuk menyelesaikan masalah-masalah agama yang kontroversial, selama denda, penjara, dan hukuman menjadi satu-satunya jalan bagi mereka yang tidak patuh, dan selama tidak ada jalan tengah antara kepatuhan sempurna dan kebingungan massal, maka Kekristenan tidak lain adalah perbudakan hati nurani manusia, dan dunia orang Kristen tetaplah akan dipenuhi kepahitan dan kekacauan universal.”
Dahsyat, bukan? Waktu ia dipilih jadi anggota Westminster Assembly (para pemimpin agama Kristen yang dikumpulin ama Parlemen Inggris buat merestrukturisasi Gereja Inggris) yang anggota terbanyaknya adalah Kaum Presbyterian, Burroughs berani menentang mayoritas tersebut. Tapi pada setiap tindakannya, ia nggak bermaksud buat memecah-belah: ia cuman berpendapat kalo suatu jemaat berhak memutuskan buat diri mereka sendiri.
Bukti nyata kalo ia bukanlah “duri dalam daging” bagi Kekristenan adalah tulisannya yang berjudul Irenicum, An Attempt to Heal the Divisions among Christian Professors (upaya mengatasi jurang-jurang perbedaan antara para pesaksi Kristen). Sampe meninggalnya di usia 47, Jeremiah Burroughs selalu mendorong jemaat-jemaat yang berbeda buat bersatu dalam Kristus, sesuai motto hidupnya yang terpahat pada pintu ruang belajarnya: Perbedaan kepercayaan dan persatuan orang-orang percaya dapat berjalan saling berdampingan. Bukankah begitu, kawan? [cs]
No comments:
Post a Comment
copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com