Kapitalisme di Rumah Tuhan
Secara umum, Kapitalisme mengacu pada sistem ekonomi dan
sosial dimana produksi didominasi, dikuasai dan dioperasikan dengan tujuan
mendapatkan laba untuk keuntungan para pemiliknya.
– Terjemahan
bebas dari kamus Wikipedia.
“Ambil aja
beberapa lembar, lumayan buat dibagiin ke murid-murid lo.”
Itu yang
saya ucapkan ke seorang
teman, waktu
kami melihat brosur-brosur berbahasa inggris di sebuah gerai kopi sambil
memasukkan sedotan ke wadah kopi masing-masing. Teman saya adalah seorang guru
bahasa Inggris. Waktu
itu, kami
sedang melihat gambar-gambar cantik dengan teks bahasa Inggris, yang muncul di pikiran saya cuman: ih lucu juga
nih buat dibagi-bagi dan dipelajari artinya.
Teman saya
menggeleng. “Ogah, gue males ngajar pake materi gituan. Kapitalis banget.”
Saya cuma
manggut-manggut nggak penting sambil membawa gelas berisi Peppermint Mochacinno
Latte ke meja yang udah kami pilih. Mendadak, saya ingat pada perbincangan di
kanal maya dengan seorang kawan pria, beberapa bulan lalu, waktu lagi ngobrolin
soal aktivitas mengajarnya di sebuah universitas swasta. Betapa kualitas
pendidikan pada masa sekarang ini nggak lagi menempati tangga teratas dalam daftar prioritas.
Betapa jumlah mahasiswa-lah yang paling penting, nggak peduli kondisi
kampus dan fasilitas yang semakin menua dan nggak mampu lagi
menyerap pendatang baru secara maksimal.
“Kampus
gue mah kapitalis sejati, lah,” cetusnya sambil membubuhkan icon berupa bulatan kuning yang sedang
tertawa terbahak-bahak.
Lain
waktu, melalui blog, seorang
teman mengomentari berdirinya sebuah pusat hiburan untuk anak di Jakarta. Pusat
hiburan itu menawarkan berbagai sarana bermain yang terbilang sangat ‘wah’ dan
nomor satu megahnya di Indonesia, belum lagi janji-janji mengenai pendidikan dan
ilmu pengetahuan yang bisa didapatkan sambil bermain. Tiket masuk terdiri dari
enam digit angka, dan untuk
memperolehnya para orang tua harus rela mengantri di loket dari jauh-jauh hari.
Di sana, anak-anak diajarkan cara melakukan berbagai pekerjaan layaknya orang
dewasa, lengkap dengan kostum dan fasilitas yang mendekati betulan. Nggak cuman itu, usai
bekerja, setiap anak bakalan
dapat ‘gaji’ berupa mata uang mainan yang bisa didapatkan melalui ATM dan
dibelanjakan di area bermain tersebut. Canggih.
Intinya,
selain diperkenalkan pada dunia kerja dan beragam profesi, anak-anak
diperkenalkan pada realita kehidupan yang bakal mereka
temui di dunia nyata – mungkin belasan taon dari sekarang. Bekerja demi
mendapatkan uang. Berpeluh dan menguras tenaga demi lembar-lembar rupiah yang
seringnya
cuman ‘numpang lewat’ di rekening (sampai ahli keuangan Safir Senduk menawarkan
solusi atas masalah ini via SMS, yang tentunya nggak gratis
juga, hahaha!). Kalo
mencari uang itu ternyata
nggak gampang. Kalo
hidup tidaklah sesederhana dunia kecil yang mereka miliki.
“Dumbfounded,” itulah komentar yang
muncul di commenting system blog
teman saya. “Anak kecil udah diajarin kapitalisme. Bodoh.”
Ya. Di
wahana super-luas dan megah itu, anak-anak kecil belajar sebagian realita hidup.
Bahwa mereka harus siap berhadapan dengan monster kapitalisme di dunia nyata.
Bahwa keuntungan berupa materi adalah sesuatu yang lumrah buat dikejar
sekuat tenaga.
Beberapa
minggu sebelum saya menuliskan artikel ini, seorang sahabat --yang udah jadi
pengkhotbah penuh waktu selama belasan taon-- menceritakan
pengalamannya. Ia didatangi seorang ‘broker’
rohani yang menawarkan ‘cara cepat jadi populer’.
Broker itu
menawarkan diri
buat ‘membukakan pintu-pintu pelayanan’ bagi sahabat saya – nggak tanggung-tanggung
bos, ke seluruh penjuru Indonesia. Koneksi mantap, kerahasiaan terjaga.
“Mau
pelayanan tiap hari juga bisa, dan untuk jadi terkenal sama sekali nggak sulit,” sahabat
saya menirukan ucapan Broker.
Itu saja?
Ya enggak lah. Ada timbal baliknya. Broker tersebut meminta ‘kompensasi’
sebesar 5 sampai 10 persen dari setiap persembahan yang diterima si pengkhotbah
usai melayani.
(Nggak sekalian minta 20 persen, ngalahin
perpuluhan, batin saya kecut.)
Sahabat
saya menolak tawaran itu. Ia memilih untuk mempercayai kalo Tuhan yang
udah memanggilnya
masuk dalam pelayanan adalah Tuhan yang sama, yang akan mencukupi
setiap kebutuhan dan membukakan pintu demi pintu baginya. Promosi datang dari
Tuhan, dan kalau Tuhan yang membuka, nggak ada seorang pun yang bisa menutupnya. Nggak perlu
mencoba mengangkat diri sendiri, apalagi dengan cara-cara yang sangat
manusiawi.
Di sisi
lain, bagaimanapun, keberadaan para ‘broker’
rohani itu nggak
dapat disangkali. Ada, bos. ADA. Mereka eksis dan berjaya di tengah kebangunan
rohani yang menggelora di negeri tercinta ini --menggaungkan kemudahan untuk
menjulang tinggi tanpa usaha, tanpa menunggu-- yang membuat saya
bertanya-tanya: Apa sebenarnya esensi
pelayanan yang sejati?
Tolong
jangan salah paham dulu. Saya nggak
menghubungkan pelayanan dengan apa pun yang negatif. Saya percaya pelayanan
yang lahir dari kerinduan untuk memuliakan Tuhan akan mendatangkan berkat atas
hidup kita, dan nggak
ada yang salah dengan itu. Menerima berkat atas ketaatan yang lahir dari
hati yang mencintai Tuhan adalah sesuatu yang akan dialami setiap orang
percaya. Hal yang sama juga berlaku bagi promosi, popularitas, dan banyak lagi.
Nggak ada yang
salah ama
itu semua, soalnya
hal-hal tersebut adalah sarana
yang Tuhan berikan buat
kita menggenapi rencanaNya.
Sekali lagi, nggak
ada yang salah dengan menerima berkat, promosi dan popularitas. Yang
menjadikannya ‘keliru’ adalah waktu
kita menempatkan sarana dalam urutan teratas dan membiarkannya menjelma
menjadi keinginan yang menutup mata hati kita dari kehendak Tuhan. Sarana harus
tetap menjadi sarana, nggak
boleh lebih.
“Serius.
Orang-orang seperti itu beneran ada. Dan ada juga hamba-hamba Tuhan yang
memakai jasa ‘broker’ rohani,” ungkap
sahabat saya, pada saya dan beberapa teman lain yang bengong berat mendengar
ceritanya.
Saya
tertawa getir, miris. Betapa kapitalisme telah menjajah kita.
cd
Mau tahu yang lebih miris selain keberadaan broker rohani? Di beberapa gereja (tak perlu disebutkan di sini)para hamba Tuhan yang melayani cenderung untuk mengeruk 'keuntungan lebih' dari hasil persembahan jemaatnya. Ketika hal ini diketahui oleh para jemaat, mereka kecewa dan mulai pindah gereja, dan ya termasuk pindah iman juga ada di dalamnya.
ReplyDeleteMenurut saya sistem kapitalisme itu baik dalam skala kecil. Tetapi biasanya sistem itu akan gagal dengan sendirinya. Hal ini terbukti dari masyarakat di Amerika Serikat (tempat berkuasanya sistem kapitalisme ini) mulai mengecam sistem ini, karena dianggap gagal untuk memecahkan masalah perekonomian dunia.
Celakanya si jahat memanfaatkan sistem ini untuk kepentingannya dan mulai merambah ke rumah-rumah Tuhan hingga mencoreng iman anak-anak Tuhan.
Menurut saya sich..kita sama-sama melihat saja keadaan para rasul.. Kisah Para Rasul 3: 6 Tetapi Petrus berkata: "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!". Kalau disimak, apa sich yang tidak bisa diminta oleh Para Rasul..apakah iman mereka kurang banyak setelah Pentakosta..TIDAK...namun yang ada adalah kesederhanaan dalam meminta...
Deletekesederhanaan dalam meminta..
Deletenice...