Transformasi, Why Oh Why?
~Diary Jenny Jusuf ~
Curhat saya kali ini lebih artikelitis
*halah* (baca: menyerupai artikel).
Tulisan mengenai transformasi di sebuah
majalah Kristiani mencuri perhatian saya, segera setelah saya membukanya. Saya
tidak terlalu tertarik pada judulnya, melainkan pertanyaan yang tercetak
besar-besar di halaman berwarna cerah itu, yang kurang lebih berbunyi: Akankah transformasi betul-betul terjadi di
Indonesia? Kenapa justru banyak
bencana terjadi di negeri ini? Apakah
Tuhan lalai akan janji dan nubuatan yang Ia berikan bertahun-tahun silam
melalui hamba-hambaNya?
Beberapa tahun lalu, istilah
‘transformasi’ begitu populer sampai menjadi semacam ‘ikon’ dalam Gereja. Dimana
pun kita beribadah, kata ini tercetak besar-besar di spanduk, banner, warta jemaat, dan tidak
henti-hentinya dikumandangkan dalam khotbah, pujian-penyembahan maupun
persekutuan komunitas. Topik ini menjadi tema utama dalam Gerakan Doa Nasional.
Semua orang terkena ‘demam’ transformasi (maafkan kalimat saya, tapi saya tidak
bisa menemukan kata yang lebih tepat untuk menggambarkannya).
Tahun demi tahun berlalu. Banyak
peristiwa terjadi di negeri tercinta ini. Mulai dari kecelakaan pesawat terbang
yang penuh misteri, wabah penyakit sampai bencana alam mahadahsyat yang mengguncang
bangsa ini dengan sebuah pertanyaan besar: Di
mana Tuhan? Kenapa Ia membiarkan
semua ini terjadi?
Dan pertanyaan serupa (tanpa sadar)
mulai menghantui Gereja, walau dalam wujud yang berbeda: Kenapa Tuhan berdiam diri dan tidak melakukan apa pun? Kenapa Ia membiarkan umatNya menderita? Bukankah Ia berjanji akan memulihkan
Indonesia? Kenapa yang terjadi justru
bencana dan berbagai peristiwa menyedihkan?
Pertanyaan itulah yang tersirat dalam
artikel mengenai transformasi yang saya baca. Sejujurnya, pertanyaan tersebut
mengusik saya. Secara saya tidak
banyak menaruh atensi pada topik yang satu ini (baca: cuek bebek), saya nyaris
tidak pernah mempertanyakan hal-hal tersebut. Saya memandang segala sesuatu
yang terjadi ‘apa adanya’, dan walaupun sempat latah miris-miris dan
panik-panik, akhirnya saya membiarkan peristiwa tersebut berlalu begitu saja.
Saya tidak pernah mempertanyakan why oh why ini terjadi, kok bisa, apa
alasannya, dan seterusnya, sampai saya membaca artikel di majalah itu. Dan
sejujurnya, saat membacanya pun, pemikiran pertama yang singgah di benak saya
adalah, “Lha, kok jadi seperti ‘nyalahin’
Tuhan, ya?”
Seolah-olah, atas setiap hal yang
terjadi, Tuhan-lah yang nomor satu ‘ketiban
pulung’ dan dipertanyakan kedaulatanNya: Kenapa Ia berdiam diri? Kenapa
Ia tidak bertindak?
Atau, karena Ia Allah yang berdaulat,
secara langsung tak langsung kemahakuasaanNya dijadikan justifikasi atas berbagai
‘tuduhan’ yang memposisikanNya sebagai ‘terdakwa’, dengan pertanyaan, “Kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi? Apa
maksud Tuhan?” – yang bagi saya hanya terdengar sebagai ‘penghalusan’ dari:
“Kok Tuhan menimpakan bencana ini? Apa salah kita?”
*Peace
ahhh :-D*
Maafkan saya karena berkata seperti
ini, tapi kok ya saya merasa, pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan ke Tuhan itu
agak kurang adil. Kurang adil bagi siapa? Ya bagi Tuhan.
Apa kabarnya pemerintah daerah yang
memilih tutup mata dan membiarkan pembangunan merajalela tanpa kendali sampai
daerah resapan air tergusur sedemikian rupa? Apa kabarnya pengabaian prosedur
standar maskapai penerbangan dan kesalahan teknis yang sama sekali luput dari
kontrol? Apa kabarnya pabrik raksasa yang luar biasa sembrono mengolah
limbahnya sehingga mengakibatkan luapan lumpur yang tidak terbendung? Apa
kabarnya penebangan liar dan eksploitasi sumber daya energi yang berlebihan? Apa
kabarnya polusi, pemborosan, kecerobohan dan perilaku sembarangan bin
semena-mena yang tanpa sadar KITA lakukan setiap hari, di mana-mana, terhadap
lingkungan sekitar?
Adilkah bila kita ‘menimpakan’ semua akibat
dari perbuatan manusia kepada Sang Pencipta dengan melegalisasi pertanyaan: “Kenapa Tuhan membiarkan bencana ini terjadi?”
Saya membayangkan, seandainya Tuhan menempatkan
diri sebagai ABG belasan tahun, barangkali Ia akan mengajukan argumentasi yang
sama seperti Cinta kepada Rangga di film AADC: “Terus kalo gitu, salah gue??” ;-D
Tebak-tebak buah manggis: kira-kira
sulitkah bagi Tuhan untuk membawa bangsa Israel masuk ke Kanaan hanya dalam
beberapa hari perjalanan?
Jarak Mesir-Kanaan tidak jauh. Kalau
tidak salah, sebuah analisa geografis -yang saya lupa pernah baca di mana-
malah mengatakan, hanya diperlukan waktu sekitar dua hari dari Mesir untuk
menyeberang ke Kanaan. (sekali lagi, ini kalau saya nggak salah ingat. Kalau
ada yang punya informasi lebih akurat, monggo
diralat. Untuk referensi, silakan baca Keluaran 13:17-18 :-) )
Lepas dari berapa lama waktu yang
dibutuhkan, terbukti memang ada jalan yang lebih
dekat untuk sampai ke Kanaan. Pertanyaannya, kenapa Tuhan tidak memilih
jalan itu untuk menyeberangkan bangsa Israel?
Pemikiran kedua: Okay, taruhlah mereka tidak punya pilihan lain kecuali melewati
padang gurun, memang padang gurun segede apa yang membutuhkan 40 tahun untuk
diseberangi?
Pada proses timbal balik yang (selalu)
terdapat dalam penggenapan rencana Tuhan, respon dan kesiapan orang-orang yang
terlibat di dalamnya adalah faktor yang sangat menentukan terwujudnya
janji/Firman/nubuatan itu.
Kembali ke ayat di atas, saya
menyimpulkan, alasan Tuhan membawa bangsa Israel berputar-putar sekian lama
adalah karena –secara sederhana- mereka belum
siap untuk memasuki Kanaan.
Belum siap dalam hal apa? Saya
memilih untuk tidak menjabarkannya secara detil, karena bukan itu fokusnya.
Lagipula, kepanjangan untuk dirinci di sini. ;-)
Lha kalau belum siap, ngapain dong Tuhan membawa Israel keluar dari Mesir? Tanyakan padaNya. Soalnya bukan saya yang
menyuruh Musa menghadap Firaun untuk membebaskan mereka. *wink*
Saya ingat kalimat yang pernah Ia
ucapkan pada saya beberapa tahun silam. Ucapan tersebut diawali dengan dua
pertanyaan, dan sukses membuat saya mati kata: “Apakah menurutmu sulit bagiKu
untuk membawamu mengalami perwujudan janji dan panggilanKu?”
Saya terdiam, namun dalam hati
mengakui: sama sekali tidak sulit. Ya iyalah, Ia ‘kan mahakuasa. Pencipta
langit dan bumi. Kalau Ia menghendaki, apa pun bisa terjadi dalam sekejap mata.
Pertanyaan keduaNya adalah: “The question is, are you ready?”
Kali itu, saya betul-betul diam. Otak
saya blank seketika. Selama
bermenit-menit, saya hanya bisa duduk di kursi tanpa bergerak. Seluruh pikiran
saya terfokus pada dua pertanyaan itu, sampai Ia kembali berkata: “Apapun
panggilanmu, apapun janji yang kau terima, biarkan
tanganKu membawamu ke sana.”
Saat itulah saya mengerti.
Terlalu sering kita mencoba memahami
Firman yang Ia sampaikan dari sudut pandang manusiawi, dan berusaha
mewujudkannya dengan kemampuan manusiawi yang sangat terbatas tanpa menimbang
dan menelaah hidup kita terlebih dahulu.
Tidak ada yang salah dengan berusaha
mewujudkan Firman. Yang membuat usaha tersebut menjadi ngawur adalah ketika kita menjalankannya dengan kehidupan yang
masih terkontaminasi ambisi pribadi, pemahaman yang keliru, konflik batin,
bayang-bayang masa lalu dan pencemaran-pencemaran lainnya.
Tuhan lebih memilih janji-janjiNya tertunda, daripada melihat kita hancur
oleh penggenapan janji tersebut.
Kenapa bisa hancur? Kalau itu dari Tuhan, kan, Ia sendiri yang
akan menjagai kita? Betul. Tuhan akan menjagai kita saat kita hidup dalam
FirmanNya. Pertanyaannya adalah, jika hidup kita masih memiliki begitu banyak
lubang di sana-sini dan hati kita belum terbebas dari kontaminasi agenda
pribadi; ketika Tuhan mempromosikan kita (sebagai bagian dari penggenapan
rencanaNya), bisakah kita menjamin kita tidak akan hanyut oleh pesona promosi
itu?
Ketika Tuhan melimpahkan berkat secara
materi untuk digunakan membangun negeri, bisakah kita menjamin mata ini tidak
akan silau oleh dana sekian ratus miliar di rekening kita?
Ketika Tuhan menjadikan kita terkenal
untuk menyuarakan FirmanNya, bisakah kita menjamin hati ini tidak akan
berpaling dari kebenaranNya yang sejati untuk mengejar kepuasan manusiawi yang
dengan mudah bisa didapat dari kepopuleran tersebut?
Ketika Tuhan mengangkat dan
menempatkan kita pada posisi yang strategis untuk membuat keputusan yang dapat
berdampak besar bagi seluruh negeri, bisakah kita menjamin hidup kita tetap
lurus dan kita tidak tergoda untuk menyalahgunakan posisi itu demi mencapai
ambisi pribadi?
Ketika Tuhan memakai kita untuk
memulihkan kondisi bangsa dan mata banyak orang mulai tertuju kepada kita,
bisakah kita menjamin bejana ini akan senantiasa terjaga kemurniannya?
Bisakah kita memastikan bahwa hati ini
tidak akan berubah ‘jahat’ ketika Ia membawa kita ‘naik’? Bisakah kita memastikan
bahwa hati ini tidak akan terpaling oleh posisi, jabatan, uang, popularitas,
dan segala hal gemerlap lain -- yang tidak mungkin kita nikmati ketika masih
berada di ‘bawah’? Bisakah kita memastikan bahwa bejana ini tidak akan hancur (justru)
saat Ia mulai memenuhinya dengan anggur?
Ini pertanyaan penting, Jendral.
Jika jawaban kita adalah “Yah…”,
“Sepertinya…”, “Tidak”, atau “Ragu-ragu”; mungkin, mungkin saja, kita belum siap mengalami perubahan besar
yang disebut Transformasi. Bejana ini masih memerlukan perombakan, pembentukan
dan pemurnian untuk membuatnya tahan uji -- tidak akan rusak bila digunakan
menampung anggur.
Saya percaya Tuhan memiliki panggilan
pribadi atas setiap orang. Saya percaya Ia telah memberikan visi, janji dan
Firman -- dan itu semua akan tergenapi. Saya percaya Transformasi akan terjadi.
Saya hidup untuk melihat Transformasi terwujud, dan saya akan mengalaminya
sendiri. Saya percaya Saudara adalah bagian dari penggenapan Transformasi itu
juga.
Tapi, kapan?! Saya tidak
tahu, dan sebaiknya kita berhenti bertanya.
Mulailah bekerja sesuai kapasitas dan
porsi kita masing-masing, dan jalanilah setiap pembentukan yang terdapat dalam
proses itu dengan setia.
Ia bukan Tuhan yang lalai dan
melupakan FirmanNya sendiri. Penggenapan janji hanya masalah waktu, dan waktu itu
berada dalam genggamanNya yang perkasa. Ketika bejana ini terbukti siap untuk
dipakai, Sang Pembangun Ulung tidak akan menunda lagi.
Izinkan saya menutup tulisan ini
dengan sebuah pesan: apa pun janji yang
pernah Ia berikan, dan apa pun panggilan yang ditetapkannya atas Saudara,
izinkan tanganNya sendiri membawa Saudara menggenapinya.
:-)
dc
Copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com
No comments:
Post a Comment
copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com