John Nelson Darby
Ahlinya Nubuatan Alkitab yang Gemar
Memisahkan Diri
Sebagian
umat Kristen percaya bahwa Alkitab mengandung nubuatan-nubuatan mengenai banyak
peristiwa yang belum terwujudkan bahkan hingga sekarang, ribuan tahun setelah
surat-surat di Alkitab itu ditulis. Sebagian besar diantaranya bicara mengenai
akhir zaman: masa pengangkatan, masa seribu tahun pemerintahan Yesus di muka
bumi sebelum “langit yang baru dan bumi yang baru” muncul, masa penghakiman,
dan masih banyak lagi. Banyak buku kristiani yang beredar membahas topik-topik
akhir zaman ini, dari yang sifatnya deskriptif (buku Planet Bumi pada Zaman Akhir karya Hal Lindsey, misalnya), hingga yang
fiktif (contohnya novel berseri Left
Behind karangan Tim LaHaye dan Jerry Jenkins).
Kebanyakan
dari mereka yang percaya bahwa segala nubuatan tentang akhir zaman ini akan
terwujud di masa mendatang (atau bahkan dalam generasi sekarang) juga umumnya
percaya bahwa segala hal dan peristiwa yang tertulis di Alkitab harus dimaknai
secara literal. Artinya, setiap informasi dalam Alkitab adalah benar adanya,
tanpa perlu diinterpretasikan lain secara figuratif (kiasan). Jika di kitab
Wahyu ditulis akan ada tujuh sangkakala yang dibunyikan menjelang kiamat nanti,
maka, berdasarkan pemahaman ini, nanti yang terjadi akan benar-benar demikian.
Jika di kitab Kejadian ditulis bahwa Matahari diciptakan setelah air,
cakrawala, dan Bumi, maka itulah yang sesungguhnya terjadi.
Munculnya
berbagai pemahaman tentang nubuatan Alkitab yang diyakini belum terpenuhi dan
akan segera terlaksana tak bisa dipisahkan dari gagasan seorang Inggris yang
pernah hidup di abad ke-19 bernama John
Nelson Darby. Pemikirannya dan pemahamannya tentang teologi dan Alkitab,
tidak dipungkiri lagi, menjadi batu penjuru bagi banyak teolog lainnya untuk
mengembangkan pemahaman mereka sendiri tentang akhir zaman, sampai sekarang,
120 tahun lebih setelah kematiannya. Secara tak langsung, ia juga sering
dibilang berperan paling besar dalam memopulerkan gerakan Evangelicalism di Inggris
Raya, atau yang di Indonesia lebih dikenal sebagai Penginjilan.
Sayangnya,
tidak banyak orang Kristen yang mengenal, atau setidaknya pernah mendengar nama
John Nelson Darby. Padahal, tanpa dirinya, panggung ide tentang hari kiamat
tidak akan sehebat, dan seheboh, yang kita punya sekarang.
John
Darby dilahirkan di London tanggal 18 November 1800 sebagai anak dari sebuah
keluarga tuan tanah yang boleh dibilang kaya-raya. Masa kecilnya dihabiskannya
dengan bersekolah di Westminster, London, tetapi di usianya yang ke-15, karena
ia adalah keturunan Inggris-Irlandia, keluarga John Darby pun pindah untuk
menempati puri leluhurnya, Leap Castle, di Irlandia. Selama masa mudanya, ia
mendapatkan pendidikan Alkitab dan juga belajar banyak tentang kekristenan,
yang sudah jadi agamanya sejak kecil.
John
kemudian melanjutkan studinya ke Trinity College, Dublin, sebuah perguruan
tinggi yang berkelas di Irlandia. Sebagai mahasiswa, John Darby tergolong
sangat berprestasi. Berbagai penghargaan dan medali diraihnya, baik dari bidang
sains maupun bidang klasik (sastra dan sejarah). Ia pun lulus tanpa cela dengan
menyabet gelar Classical Gold Medalist pada tahun 1819.
John
tidak berhenti belajar sampai di situ. Ia tertarik dengan dunia hukum, jadi ia
memutuskan untuk mendalaminya selama tiga tahun, sampai akhirnya ia menjadi
seorang pengacara. Tetapi di masa-masa ini, suara hatinya tidak pernah berhenti
membisikinya, dan membuatnya tidak tenang. Ia merasa bahwa menjadi pengacara
tidaklah sejalan dengan prinsip-prinsip religiositas yang ia yakini. Alhasil,
hanya setahun ia menjadi pengacara, lalu memutuskan untuk berhenti.
Panggilan
bagi John saat itu adalah menjadi orang yang memberitakan Injil Kristus bagi
jiwa-jiwa, jadi selepas itu, ia memilih untuk melayani Tuhan secara penuh
waktu. Tahun 1825, di usia yang masih belia, ia dilantik sebagai diaken, lalu
satu tahun berikutnya sebagai pendeta di Church of Ireland. Ia lalu diberi
daerah untuk digarap, yaitu di Wicklow. Terbukti, pekerjaannya yang ini
benar-benar disukai olehnya. Jadi, John mengerjakannya juga dengan penuh
semangat. Ia betul-betul terjun ke dalam masyarakat di Wicklow, membantu banyak
sekolah dan institusi kemanusiaan, dan berhasil memenangkan hati mereka.
Terkadang, ia begitu sibuknya dengan urusan ini-itu buat gereja sampai-sampai
ia mengabaikan kesehatannya sendiri dan sering tampil di depan orang dengan
muka kusut dan pakaian tidak terurus.
Akan
tetapi, hasilnya sangat terlihat. Banyak rakyat miskin di sana yang tadinya
merupakan jemaat gereja Katolik, beralih menjadi Protestan karena “dimenangkan”
oleh John. Konon kabarnya, ratusan orang Katolik berpindah agama menjadi
Protestan hanya dalam waktu seminggu. Namun, prestasinya yang luar biasa bagi
Gereja Irlandia ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun lebih sedikit saja.
Idealismenya
yang masih menggebu-gebu membuat John Nelson Darby mengalami banyak bentrok
dengan pengurus-pengurus gereja yang lebih senior, termasuk Uskup Agung William
Magee, yang melantik John sebagai pendeta. Sayangnya, selain memang
perselisihan ini didasarkan pada hal-hal gerejawi, faktor yang paling
menentukan adalah soal politik. Pada intinya, John tidak setuju umatnya harus
bersumpah bahwa mereka takluk pada Raja George IV sebagai raja sejati dari
Irlandia.
Hebatnya,
John berani memutuskan untuk mundur sebagai pendeta. Tak lama setelahnya, ia terjatuh
dari kudanya dan menderita cedera yang cukup parah. Tetapi hal ini justru
merupakan suatu berkat yang tersembunyi. Waktu istirahatnya digunakan untuk
mendalami Alkitab, khususnya kitab Yesaya. Waktu ini juga ia manfaatkan untuk
mematangkan prinsip-prinsip teologinya, dan berkumpul dengan sesama orang
percaya dari berbagai denominasi.
Persekutuan
orang-orang percaya ini (kebanyakan mereka nantinya menjadi tokoh-tokoh Kristen
yang dikenal luas) berkembang dan menjadi makin kokoh, dan lama-kelamaan
bertransformasi menjadi suatu gerakan yang disebut sebagai Plymouth Brethren (saudara-saudara sekutu dari Plymouth).
Selepas
dari Church of Ireland, John banyak menulis karya-karya mengenai hubungan dan pemisahan
antara bangsa Israel dan umat gereja Tuhan (ini membuat John dikenal sebagai Bapak Dispensasionalisme, suatu cabang
pemikiran dalam kekristenan), dan juga nubuatan-nubuatan tentang gereja di
akhir zaman. Para penganut kekristenan dispensasionalisme berupaya keras untuk
mengabarkan Injil ke seluruh pelosok di muka bumi agar semua orang mendengar
tentang hal itu dan dengan demikian berharap dapat mempercepat kedatangan Tuhan
Yesus yang kedua kali.
Karena
sering berkhotbah dan memberi kuliah soal akhir zaman, John Nelson Darby juga memperoleh
reputasi sebagai pakar di bidang pemaknaan nubuat-nubuat Alkitab.
Pemikiran-pemikirannya sampai sekarang masih diajarkan di berbagai seminari di
dunia, termasuk di Dallas Theological Seminary (gudangnya para penubuat).
Belum
lagi dua dekade usianya, Plymouth Brethren yang didirikan oleh John Darby harus
terpecah karena John berbeda prinsip dengan rekan-rekannya. Ini membuat
Plymouth Brethren terpecah menjadi dua: Open Brethren, dan Exclusive Brethren,
yang didukung oleh John. Ini membuktikan bahwa ia tidak takut mempertahankan
pendapatnya di tengah orang banyak. Ia berhenti menjadi pengacara karena
perbedaan prinsip. Ia mengundurkan diri sebagai pendeta Church of Ireland
karena perbedaan prinsip. Dan untuk yang ketiga kalinya, ia memisahkan diri
dari Plymouth Brethren, lagi-lagi karena perbedaan prinsip. Tetapi tak pernah
sekalipun ia mengkompromikan pelayanannya bagi kesenangannya pribadi.
Kerja
kerasnya bagi kekristenan patut diacungi jempol. Sumbangsihnya bagi teologi
juga bukan main-main. Berbagai kunjungan misi ia laksanakan, di tengah sulitnya
transportasi pada zamannya. Saat John meninggal pada usia 80-an di Bournemouth,
Inggris, William Kelly (rekan kerjanya dalam menginterpretasikan Alkitab selama
40 tahun), berkata, “Saya tak pernah melihat orang yang lebih setia pada nama
Tuhan dan pada Firman-Nya daripada John Nelson Darby.” []
Copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com
No comments:
Post a Comment
copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com