M A N G K A T
Kaget dan tidak percaya. Itulah yang
dialami Irma, begitu dia mendengar kabar, Tante Ratih meninggal. Tante yang
sudah memelihara dan mau membiayai sekolah selama 6 semester, meninggal.
Rasanya tidak mungkin. Pagi tadi, Irma masih bercanda, sarapan bersama, bahkan
sempat mencium pipi Tante Ratih sebelum berangkat. Ah, rasanya tidak mungkin. Dea
pasti bercanda.
Dengan berlari kecil, Irma menuju
kantin di belakang sekolah. Begitu melihat Dea di sudut kantin, Irma
menghampiri dan sengaja membuatnya terkejut.
“Hai! Melamun saja!!” seru Irma
setengah berteriak di telinga Dea. Buku-buku yang ada dalam pelukannya, Irma
letakkan di meja. Irma duduk menghadap Dea. Sapaan yang Irma
perkirakan akan mendapat umpatan dari Dea, ternyata tidak mendapat tanggapan.
Dengan sedikit kecewa, Irma memperhatikan wajah Dea.
“De, kamu sehat-sehat saja ‘kan?”
nada suara Irma sedikit kuatir melihat wajah sahabatnya yang pucat. Kedua
matanya pun memerah.
Irma memegang tangan Dea dan
mengguncangnya.
“Ayolah Dea, kamu jangan begitu”
Sorot mata Dea memandang Irma dengan
raut muka yang tidak berubah.
“Ir…, kamu tidak percaya dengan
berita yang aku sampaikan tadi. Ir, aku tidak bohong. Tante Ratih benar-benar
meninggal jam 9.00”
Ada suatu aliran hangat yang
mendesak ke dada, saat Irma mendengar
ucapan Dea yang serius. Antara percaya dan tidak, Irma harus menerima
kenyataannya. Ingin rasanya Ia menangis, tetapi rasanya tidak mampu. Mendadak
kepala Irma menjadi sakit, dan wajahnya menjadi pucat. Sebagian dirinya, tetap
menolak kenyataan meninggalnya Tante Ratih.
Sekarang gantian Dea yang merasa
kuatir.
“Ir, sebaiknya kita pulang yuk. Aku
rasa, mereka yang di rumah sudah menunggumu.”
Dengan lesu, Irma menganggukan
kepalanya. Diikutinya saran Dea. Sambil beriringan mereka berdua berjalan
meninggalkan kantin sekolah. Sejak kecil, Dea sudah menjadi sahabat, sekaligus
menjadi tempat Irma bercerita. Kata orang, Dea dan dirinya memiliki kemiripan.
Baik raut wajah, cara berjalan bahkan cara bicarapun sama. Bedanya, mereka
berdua tidak sedarah tetapi satu perasaan. Dan mereka sama-sama mencintai Tante
Ratih.
Rumah Tante Ratih yang juga tempat
tinggal Irma sejak ayah dan ibunya meninggal, terlihat ramai. Tergesa, Irma
masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, terlihat peti mati dari jati yang diukir
sepanjang tepiannya. Bunga mawar tersusun rapi membentuk salib, berada di bawah
peti. Sepasang lilin putih menyala, berada di atas meja. Foto Tante Ratih,
tersenyum. Sorot matanya, seolah menatap Irma dengan lembut, berkata “Selama
tinggal Irma”
Kedua lutut Irma menjadi lemas.
Matanya berkunang-kunang. Mendadak semuanya menjadi gelap.
“Ir, Irma sadar. Sadar Ir!” seru seseorang sambil menepuk-nepuk pipi
Irma. Bau minyak putih yang tajam, membuat Irma tersadar dari pingsannya.
Kelopak mata Irma sedikit terbuka, ketika kesadarannya mulai pulih. Antara
sadar dan tidak, rasanya Irma baru saja melihat Tante Ratih berada di
sampingnya.
“Tante…jangan tinggalkan Irma,
Tante” rintih Irma perlahan.
“Ir, kamu harus tabah. Tabah ya Ir”
kata Dea terisak.
Irma mencoba bangun dari
pembaringan. Sambil terhuyung-huyung, Irma berjalan menuju ruang tamu. Ia tidak
menghiraukan orang-orang yang memandangnya dengan sorot mata kasihan.
“Tante, kenapa Tante tega ninggalin
Irma? Bagaimana dengan Irma nanti Tante? Kenapa Tante tidak tunggu Irma….?”
Tangis Irma meledak saat melihat mayat Tante Ratih terbaring dalam peti. Dengan
cepat, Dea memeluknya.
“Sudahlah Ir. Kita harus menerima
kepergian Tante Ratih. Relakan Ir! Sekarang Tante Ratih sudah berada dengan
Bapa di surga” hibur Dea dengan suara serak.
Dea, membimbing Irma ke kamar.
Dibiarkannya Irma menangis sepuasnya. Di dalama kamar, Dea mendengar, di luar
suara anak-anak Tante Ratih yang baru
datang dari luar kota. Mereka tampaknya menangis dengan histeris.
Acara pemakaman berjalan dengan
lancar. Setelah semuanya selesai, di rumah almh. Tante Ratih masih tinggal
beberapa kerabat dari luar kota. Ketiga anak Tante Ratihpun masih ada. Terus
terang keberadaan orang-orang itu, membuat Irma tidak tahu harus berbuat apa.
Meskipun Irma sudah dianggap anak
oleh Tante Ratih, tetapi Irma tidak mengenal dekat dengan anak-anak Tante
Ratih. Saat Irma tinggal dengan Tantenya, saat itu anak Tante Ratih sudah
berada di luar kota dan berkeluarga. Mereka jarang
mengunjungi ibunya. Hal ini yang membuat
Irma tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Sikap ketiga anak Tante Ratih, mulai
berbeda. Mereka menghentikan obrolan, apabila tanpa sengaja Irma mendekati.
Irma menjadi tidak enak. Rumah yang dulunya menjadi surga baginya, dalam
beberapa hari rasanya menjadi neraka.
“Dea, aku harus bicara sama kamu”
kata Irma begitu bertemu Dea di kampus.
“Baiklah. Kita bicara di kantin saja
yuk!” ajak Dea sambil memegang tangan Irma.
Begitu sampai di Kantin, mereka
memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas minuman dingin.
“De, aku pikir, aku harus keluar
dari rumah Tante Ratih.” kata sendu.
“Kenapa Ir?” tanya Dea terkejut.
Irma menceritakan apa yang terjadi
di rumah Tante Ratih. Sikap ketiga anak Tante Ratih yang seolah-olah
memusuhinya.
“Mungkin itu hanya perasaanmu saja
Ir” sela Dea.
Irma menggeleng.
“Semuanya benar. Dea, aku masih
memiliki beberapa tabungan dan beberapa perhiasan warisan orang tuaku. Aku
rasa, masih lebih untuk membayar kamar kos dan makan untuk beberapa bulan,
sampai aku mendapat pekerjaan.”
“Kuliahmu bagaimana Ir?”
“Aku akan ambil kuliah sore. Tolong
bantu aku cari informasi tempat kos dan kalau bisa, aku perlu juga rekomendasi
Papamu untuk mendapat job, gimana De?
please….” Pinta Irma dengan mata berkaca-kaca.
Melihatnya Dea jadi tidak tega.
“Iya… deh! Untuk pekerjaan, aku akan
minta tolong Papaku. Tapi, sebelumnya kamu harus janji, belum atau sudah dapat
pekerjaan, asal kamu sudah putuskan untuk keluar dari rumah Tante Ratih, kamu
harus tinggal di rumahku.”
“Tapi Dea…”
“Tidak ada kata tapi, tapian.
Pokoknya, kamu harus ikuti saranku. Kamu tidak usah kuatir, Papa dan Mama yang
memintanya untuk membicarannya masalah
ini dengan kamu” potong Dea dengan serius, sambil memegang tangan Irma.
Irma tidak tahu harus berkata apa.
Matanya menjadi hangat. Hatinya terharu. Tidak Irma sangka, dunia masih
bermurah hati padanya. Dan, ternyata Tuhanpun tidak pernah meninggalkannya. Dia
selalu ada, menjaga, melindungi bahkan
menyediakan keperluannya tepat pada waktunya.
“Terima kasih Tuhan untuk semuanya”
bisik Irma dalam hati. (Yen – BLBS)
No comments:
Post a Comment
copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com