ABORSI (bag 1)
Ketika Etika Moral dan suara hati Nurani sudah tidak mampu membendung keinginan manusia, segala carapun dilegalkan untuk mencapai keinginan tersebut. Terlebih lagi jika perangkat hukum yang ada memberikan dukungan terhadap tindakan-tindakan tadi. Banyak pihak yang mulai menyadari bahwa tindakan aborsi membahayakan kesehatan ibu yang melakukannya, namun kenyataannya praktek aborsi tetap dilakukan di sana-sini.
Kasus Aborsi pernah diulas gF, di edisi 4 tahun I. Di sana diulas cukup lengkap tentang kasus aborsi dan paradigmanya. Dalam artikel ini, kami mencoba menampilkan permasalahan aborsi dikaitkan dengan praktek penyembahan berhala di masa lampau. Menurut kesaksian sejumlah pelaku dan pendukung aborsi, hati nurani mereka masih sering menuduh bahwa yang dilakukannya adalah pembunuhan, namun di sisi lain kubu yang pro terhadap aborsi menganggap bahwa janin dalam kandungan tidak lebih dari sekedar onggokan daging yang memilili potensi untuk hidup.
Janin Itu Dianggap Parasit dan Sampah
Amerika, sebagai negara yang dikenal sangat menghormati hak-hak asasi makhluk hidup, pada tanggal 21 Januari 1973 membuat peraturan yang menetapkan bahwa wanita memiliki hak untuk melakukan aborsi. Sejak saat itu setidaknya lebih dari 1,5 juta anak menjadi korban aborsi di negara tersebut. Jumlahnya lebih dari 10 kali jumlah korban perang yang pernah ada di Amerika. Hingga tahun 1996, jumlah tindakan aborsi di Amerika mencapai 2 juta kasus pertahun.
“Daniel S. Green dari Washington Post mengatakan bahwa pada tahun 1996, di Amerika setiap tahun ada 550.000 orang yang meninggal karena kanker dan 700.000 meninggal karena penyakit jantung.
Jumlah ini tidak seberapa dibandingkan jumlah kematian karena aborsi yang mencapai hampir 2 juta jiwa di negara itu. “(www.kompas.com)
Di negara yang dikenal mayoritas penduduknya beragama Kristen ini, ada 2 kubu utama yang saling berseberangan, yaitu “Pro Choice” dan “Pro Life”. Pandangan kubu Pro Choice, atau Pro Pilihan, intinya adalah bahwa tubuh wanita adalah miliknya sendiri. Jadi ia punya hak untuk mengaborsi anak yang dikandungnya. Kubu ini beranggapan bahwa tindakan aborsi bukanlah suatu tindakan pembunuhan, karena pada hakekatnya janin yang berada dalam kandungan si ibu hanyalah onggokan daging yang tumbuh. Ia tidak lebih dari sekedar produk penipuan, sekedar sel palopi dalam kandungan, sekumpulan sel akibat dari sel telur yang dibuahi dan ataupun kesatuan janin dengan plasenta.
Sebuah buku pelopor gerakan feminis di Amerika menyatakan bahwa bayi dalam kandungan yang berusia 8 minggu merupakan sekumpulan jaringan sebesar 1 inchi yang mudah hancur serta merupakan parasit di dalam tubuh ibunya.
Bahkan Harry A. Blackmun, seorang hakim dari Amerika berpendapat bahwa bayi dalam kandungan sama saja dengan suatu potensi kehidupan saja, artinya bayi bukan suatu pribadi dan tidak punya hak untuk hidup.(Presentasi Video “The Massacre of Innosence”)
Kasus aborsi di Indonesia tidak kalah mengerikan dibandingkan dengan negeri Paman Sam ini.
Setiap tahun di Indonesia diperkirakan terjadi sekitar 2,3 juta aborsi, di antaranya akibat kegagalan kontrasepsi, kebutuhan hidup yang tak mencukupi, kehamilan remaja, dan aborsi spontan. Hal ini merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang amat serius, di samping aborsi juga banyak menyebabkan kematian perempuan dewasa maupun remaja secara tidak aman. Pendapat ini dikemukakan Dr Biran Affandi SpOG, Ketua Umum Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) dalam Pertemuan Koordinasi ke-19 Kesehatan Reproduksi di Indonesia yang diadakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jakarta, Kamis (2/3).(artikel kompas.com)
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”. Berikut ini elaborasi praktik aborsi dari sudut pandang hokum.
Secara hukum, ada banyak pihak yang bisa tergolong dalam pelaku aborsi. Pihak-pihak yang dapat terkena sanksi hukum ialah:
1. Ibu yang melakukan aborsi,
2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi, dan
3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi.
Berikut ini beberapa pasal dari hukumn yang mengatur tentang tindakan aborsi di negara kita.
Pasal 229
1.Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2.Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Pasal 341
Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 342
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
( dikutip dari Youth Bethany-Genetic Foundation)
Masih banyak pasal-pasal lain yang semestinya sanggup membendung tindakan-tindakan aborsi. Namun mengapa jumlah aborsi di Indonesia bisa mencapai angka 2,3 juta kasus setiap tahun?
Kontroversi Tentang Pandangan Aborsi
Benarkah aborsi merupakan pembunuhan? Pertanyaan inilah yang berpotensi melegalkan tindakan aborsi. Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Kembali sedikit mengulas materi aborsi dari gF edisi 4 tahun I , tentang 2 macam aborsi.
ABORTUS SPONTANEOUS
Yaitu aborsi yang terjadi langsung dengan sendirinya tanpa suatu tindakan, baik mekanis maupun medis. Umumnya aborsi ini terjadi pada kehamilan usia 4-20 minggu. Biasanya terjadi akibat kelalaian yang tidak disengaja atau direncanakan, seperti : aktivitas berlebihan sehingga terlalu capek, penyakit akut yang diderita ibu atau kelainan hormon. Akibatnya terjadi kontraksi uterus sehingga janin gugur dengan sendirinya. Secara klinis abortus spontaneous ini dibedakan jadi 6 jenis, namun di sini kami tidak ingin mengulasnya. Karena secara hukum, aborsi yang terjadi tanpa campur tangan dan kehendak manusia, bukanlah sebuah pelanggaran hukum.
ABORTUS YANG DISENGAJA (Artificialis abortion)
Artinya menggugurkan dengan sengaja, digolongkan 2 bagian :
a.Abortus medis (therapeutic abortion), tindakan untuk mengakhiri kehamilan dengan maksud menjaga kesehatan ibu atau tindakan medis menyelamatkan nyawa ibu
b.Abortus kriminalis, usaha untuk mengeluarkan janin dari kandungan secara tidak wajar. Dilakukan karena kehamilan yang tidak diinginkan, kasus perkosaan, hubungan seks antar anggota kelaurga (incest), alasan sosial ekonomi, tujuan kontrasepsi
Janin dalam kandungan ibu, berapapun usianya, layakkah di sebut makhluk hidup? Haruskah hak-hak asasinya kita hormati? Definisi apa yang sudah pantas disebut sebagai makhluk hidup memang diperlukan untuk menganalisa masalah ini.
"Seharusnya kalangan dokter di Indonesia mengupayakan agar ada kejelasan soal definisi dimulainya kehidupan pada kehamilan seperti yang sudah dianut oleh Ikatan Dokter Dunia.” kata Azrul Azwar, yang juga Ketua Umum Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).(www.kompas.com)
Dr. Mary Calderon, seorang pendukung Aborsi mantan Direktur Medis Planned Parenthood mengakui pada American Journal of Public Health, bahwa aborsi adalah pencabutan kehidupan. Walaupun Dr. Mary Calderon termasuk pendukung aborsi, namun penganut pendukung aborsi yang lain menolak untuk menerima istilah pembunuhan. Sebuah artikel di California Medicine membahas alasan tidak logis kaum Pro-Aborsi di Amerika. Dituliskan bahwa mereka tidak mau menerima istilah membunuh bayi. Dalam dunia kedokteran ada sebuah sumpah yang selama berabad-abad diucapkan oleh seorang dokter yang menjadi standar moral berkaitan dengan profesinya.
“ Aku tidak akan memberikan obat yang mematikan pada siapapun juga, dan juga tidak akan menawarkan nasehat yang mematikan. Aku akan menjaga diri agar tidak bercela dan suci”.
Sumpah yang begitu indah ini pada kenyataannya kerap kali menjadi sumpah palsu. Kata-kata yang agung tadi diberi bingkai yang indah dan digantung di rumah-rumah sakit, namun di tempat-tempat itu juga jutaan kehidupan dibunuh setiap tahun melalui aborsi.
Dr. Szenens, seorang dokter yang mengurusi masalah kandungan sebuah rumah sakit Amerika, saat itu berusia 36 tahun pada awalnya melakukan pengguguran pada janin-janin kecil. Detakan dan gerakan dari janin ini tidak begitu nyata dan sulit untuk disebut makhluk hidup. Berikutnya ia dan timnya mulai melakukan pengguguran janin-janin yang lebih besar lagi, yaitu yang berusia 15 – 16 minggu. Begitu seterusnya meningkat terhadap janin yang lebih dewasa. Suatu ketika mereka menyuntikkan cairan garam ke dalam sebuah rahim. Mereka melihat gerakan-gerakan dalam rahim, janin itu menendang-nendang dengan panik dalam keadaan sekarat. Pastilah ini gara-gara racun garam yang ditelannya.
“ Engkau dapat memalingkan mukamu atau menghibur diri dengan mengatakan bahwa itu hanya disebabkan oleh kontraksi otot-otot rahim saja. Tapi bagaimanapun juga hal ini menekan batin kami. Sebagai dokter kami mengerti betul bahwa buian itu yang sebenarnya terjadi. Mungkin ada alasan yang cukup kuat bagi seorang dokter untuk melakukan pengguguran, yaitu tekanan batin wanita yang tidak ingin hamil. Tapi apapun alasannya, itu adalah pembunuhan.” Ujar Dr. John Szenens.(Artikel Last Days Ministry, oleh Melody Green)
Sudah sepatutnya bahwa tindakan aborsi tidak bisa dibenarkan. Apalagi resiko kematian wanita dalam tindakan ini juga cukup tinggi. Larangan tindakan aborsi tetap tidak bisa mencegah pembunuhan masal ini, masalah barupun muncul. Lantas akan dikemanakankah bayi-bayi tadi?
"Pelarangan aborsi tanpa memberi solusi adalah tidak rasional. Jika memang dilarang, pemerintah harus membuat tempat penampungan bagi perempuan selama kehamilan dan melahirkan, serta ikut menanggung pemeliharaan anak yang dilahirkan,")
Demikian pendapat Zumrotin KS dari Forum Kesehatan Perempuan dalam dialog publik "Hak Reproduksi Perempuan dan Aborsi yang Aman", hari Kamis (14/12) di Jakarta. (www.kompas.com)
Pendapat Zumrotin ini sudah sepatutnya diperhatikan pemerintah, namun persoalan tidak berhenti sampai di sini. Prof dr Sudradji Sumapradja SpOG dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia menjelaskan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melarang aborsi untuk mencegah kematian ibu akibat aborsi tidak aman oleh dukun pada zaman dulu. Menurutnya, dengan kemajuan teknologi kedokteran, saat ini aborsi sudah bisa dilakukan secara aman.
Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan berupaya memperbaiki hal itu dengan melegalkan aborsi dengan indikasi medis. Namun diakui, definisi aborsi dalam UU itu salah, karena didasarkan sumpah dokter (Hippocrates) yang menyatakan, "menghormati makhluk insani sejak pembuahan". Karenanya, yang harus dilakukan adalah mengamandemen UU terutama mendefinisikan aborsi sesuai dengan pengertian kedokteran, yaitu pemberhentian kehamilan sebelum janin mampu hidup di luar kandungan. Dengan definisi itu, aborsi legal dilakukan sampai usia kehamilan 22 minggu.(www.kompas.com)
Tentu saja paradigma aborsi todak bisa dipandang dari sisi si ibu saja. Bagaimana dengan makhluk hidup yang terkandung di dalamnya? Siapakah yang memperjuangkan hak-haknya? Setujukah kita jika janin dan bakal bayi tersebut tidak dianggap sebagai makhluk hidup? Permasalahan yang muncul di sini, adalah definisi sejak kapan kehidupan itu berasal sehingga dia perlu dihargai hak-haknya. (bersambung) www.gfreshmagazine.com
No comments:
Post a Comment
copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com