Friday, January 13, 2012

Sibuk?


Sibuk?
~ Diary oleh Jenny Jusuf ~

“Jen, ini covernya, ada 5 alternatif. Soal ngerapiin biar penerbit aja, di sini susah euy, mati lampu mulu. Gw nggak bisa detail. Semoga kepake…

Saya bengong berat baca e-mail yang singgah di inbox saya siang itu. Tiga hari sebelumnya, setelah merasakan euforia berlebihan karena naskah Kumpulan Cerpen saya (akhirnya) lolos seleksi penerbit, saya mengirim pesan pendek ke seorang sahabat slash mantan dosen Desain Komunikasi Visual yang lumayan jago dalam hal desain-mendesain. Saya minta bantuannya buat merancang ilustrasi untuk alternatif cover buku saya.
Sejujurnya, saya sempat ragu. Sahabat saya lagi ada di Dilli, Timor Leste, dalam rangka menunaikan panggilan hati. Sedikit banyak –dari cerita-ceritanya—saya mengetahui ‘parah’nya kondisi infrastruktur negara baru itu. Air sulit, harga barang kebutuhan pokok melambung, lingkungan dihuni anak-anak muda begajulan, sampai masalah kelangkaan listrik.
Yup, saking seringnya sambungan listrik terputus, sahabat saya sampai berujar, “Gue mendingan nggak ada air deh, daripada nggak ada listrik. Kalau nggak ada air, paling parah nggak mandi. Kalau tanpa listrik, nggak bisa kerja.”
Saya juga tahu, kesibukan yang dijalaninya di sana nggak sedikit. Mulai dari ngerjain tugas rutin harian, ngajar kursus bahasa Inggris ke pemuda setempat, nyusun program kerja, bikin newsletter, sampai ngurus segala hal yang berhubungan ama media. Plus kondisi environment yang nggak mendukung yang selalu bikin mood naik-turun. Saya nggak berani berharap banyak.
Saya kirim pesan pendek itu 29 Januari malam, plus petunjuk singkat soal rancangan yang saya pengen. Saya kasih tenggat waktu seminggu, lagi-lagi tanpa berharap banyak.
Tanggal 31 Januari siang, saya menemukan e-mail di atas dalam inbox saya, beserta 5 buah desain yang dilampirin dalam format CorelDraw X3.
Saya cuman bisa melongo jaya saking surprised-nya.
Koreksi. Saking surprised DAN nggak nyangka. *eh, sama aja, ya?*
Yang langsung terbayang di benak saya adalah: sosok sahabat saya yang duduk dalam kegelapan, berusaha bikin desain tanpa listrik dengan cuman disokong baterai laptop yang nggak seberapa dayanya.
Haduuuh. Terima kasih banyak, Jeng... you are the best!
;-)
Ini ngingetin saya pada seorang sahabat lain, yang taon lalu saya kirimi e-mail berisi belasan pertanyaan dalam rangka mewawancarainya buat rubrik ‘Profil’ di majalah gereja edisi terbaru. Nggak ada yang istimewa dalam wawancara itu. Yang bikin wawancara itu super-duper-spesial adalah karena sahabat saya sedang bertugas di Belanda selama setaon. Jauh ya, bow.
Jabatannya? Presiden Organisasi Mahasiswa Farmasi Sedunia.
Job desc-nya? Apa aja yang mengharuskannya pergi dari satu negara ke negara lain kayak kita belanja ke Cihampelas Walk atau Blok M. Sangat sering. Sangat sibuk.
Dalam salah satu sesi curhat, ia sempet cerita kalo tidur selama 2 jam semalam itu udah biasa buat dia. Kadang malah nggak tidur sama sekali. Belanda –yang merupakan base camp-nya selama menunaikan masa jabatan—cuman berfungsi sebagai tempat ‘transit’ belaka. Keliling dunia (yang dianggap kemewahan tiada tara oleh banyak orang) udah dialaminya, tapi dia nggak pernah bisa membanggakan kunjungannya ke negara-negara itu.
“Apa yang mau diceritain, lha gue kalo pergi-pergi cuma nyantol di dua tempat: bandara ama hotel. Nggak sempet kemana-mana. Balik ke Belanda juga cuman nge-drop baju kotor. Nggak tidur dan nggak makan mah udah biasa,” ceritanya geli.
Whoa. Itulah yang saya namakan sibuk.
Jujur, saya sempat merasa sungkan waktu mengiriminya belasan pertanyaan dalam kondisi serba-ribet kayak gitu. Nggak enak hati.
Mau tahu, berapa waktu yang dibutuhin sahabat saya buat menjawab SEMUA pertanyaan wawancara yang saya kirim itu?
Dua hari, bok. DUA HARI.
Jawabannya panjang-panjang pula. Lengkap dan detil dari A sampe Z, sampe saya melongo dengan suksesnya di depan komputer.
Duh... Terima kasih Tuhan, buat sahabat-sahabat nan baik hati ini.
Tapi, sebagaimana hidup penuh dengan kejutan dan warna, selain hal-hal menyenangkan tersebut, saya juga pernah ngalamin kejadian yang bikin pengen garuk-garuk tanah.
Sebulan yang lalu (sebulan setengah, tepatnya), saya mengirim e-mail berisi delapan pertanyaan ke seorang teman atas permintaan Bapak Gembala. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu nantinya mau dirangkum dan disadur menjadi sebuah artikel buat majalah gereja edisi terbaru.
Saya mengirim e-mail. Saya menunggu. Saya mengingatkan. Saya mengingatkan lagi. Dan mengingatkan LAGI. Saya mendesak. Saya mengiriminya SMS. Saya mengontaknya melalui kanal maya.
Jawaban nggak kunjung datang karena sebuah alasan yang sangat klise: SIBUK. Nggak sempat.
Kesibukannya apa? Nggak jelas. Dan saking seringnya dia menggunakan alasan yang sama, saya sampai ogah bertanya.
Berulang kali saya ngingetin kalo tenggat waktu penerbitan makin tipis. Tapi hasilnya nihil. Yang saya dapetin cuman permohonan maaf disertai alasan dan janji, “Nanti, deh, minggu depan.”
Sayangnya, ‘minggu depan’ versi saya dan dia ternyata berbeda. ‘Minggu depan’ yang saya ketahui adalah, seminggu SETELAH percakapan terakhir. ‘Minggu depan’ versi teman saya, mungkin seminggu setelah... ...entah kapan. Pokoknya depaaan banget. Hehehe.
Setelah frustrasi mengejar dan menunggu tanpa hasil, akhirnya saya menceritakan masalah tersebut ke Bapak Gembala. Apa boleh buat, artikel itu terpaksa dibatalin. Untung saya masih punya tulisan cadangan buat ngisi slot yang kosong, walau sedikit terkesan ‘maksa’.
Bagaimanapun, bukan saya namanya kalau nggak ngeyel. ;-D
Di detik-detik terakhir pembatalan, saya sempet mengirim pesan ke si teman melalui kontak cakap Yahoo Messenger. Menanyakan kapan dia akan memberi jawaban yang udah tertunda (sangat) lama itu.
Selang beberapa menit, balasan muncul di layar komputer.

Aduh iya nih, belum bisa. Sorry ya. Lagi tied up nih...

Saya cuman tersenyum simpul. Sempet tergoda buat nanya, ‘emangnya sesibuk apa, sih? Ngapain aja sampe ngejawab pertanyaan segitu doang nggak ada waktu sama sekali?’, tapi akhirnya saya urungkan.
Sambil membiarkan kalimat itu tetap bertengger di sana, saya membuka e-mail.
Beberapa hari sebelumnya saya mengirim e-mail berisi ucapan terima kasih ke sahabat saya di tanah Timor, sekaligus nanyain nomor rekeningnya. Walau ilustrasi cover yang dibuatnya masih harus melalui tahap seleksi ama penerbit (belum pasti diterima), saya pengen menghargai jerih payahnya dengan membayarnya secara profesional.
E-mail balasan dari sahabat saya berada di urutan teratas inbox. Saya membukanya, menelusuri kalimat di dalamnya dengan cepat, dan lagi-lagi tersenyum simpul. Tapi senyum kali ini punya makna yang berbeda.

No need to pay, it's a present.

Salahkah saya, kalo saya berharap bahwa mereka yang mengaku ‘ingin memberi yang terbaik bagi Tuhan’ bisa lebih menghargai makna sebuah tanggung jawab seperti sahabat-sahabat saya ini? Yang meskipun sibuk luar biasa, tetap nggak mengabaikan pentingnya sebuah janji, bahkan bersedia ‘memberi lebih’? Yang nggak mendewakan kesibukan pribadi dan bersedia mengesampingkan rasa tidak nyaman demi kepentingan pihak lain, walau tindakan itu nggak ngasih keuntungan apa-apa buatnya?
Kita udah ngedapetin anugerah dan kasih karunia yang begitu besar dari Sang Penebus. Kita punya firman yang sanggup mengubah batu jadi roti. Kita mewarisi kuasa dari tempat Yang Mahatinggi. Seharusnya kita dapat berbuat lebih baik. Seharusnya kita-lah yang jadi contoh.
Ah, seandainya. ;-)

No comments:

Post a Comment

copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com


MamaOla