Friday, April 30, 2010

Yohanes Surya Ph.D: Menabur Benih, Menuai Nobel Fisika

Yohanes Surya Ph.D:

Menabur Benih, Menuai Nobel Fisika


Sejak berhasil melatih siswa-siswa Indonesia untuk mengikuti Olimpiade Fisika Internasional mulai tahun 1993, nama Yohanes Surya, Ph.D langsung berkibar di belantara Fisika Indonesia. Doktor Fisika Nuklir ini juga terkenal dengan visinya untuk mencetak para calon peraih Nobel Fisika dari Indonesia di tahun 2020.

Pola dari cetakannya itu sudah mulai terlihat ketika para alumni TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia) yang mendapatkan medali (baik perunggu, perak mapun emas) sejak tahun 1993 sudah diterima di universitas-universitas top di berbagai penjuru dunia, termasuk di Princeton, M.I.T., Harvard, dan lain sebagainya. Beberapa dari para alumni ini bahkan sudah menjadi asisten langsung dari para peraih Nobel Fisika.

Di balik gemerlapnya prestasi President dari Asian Pyhsics Olympiad yang sehari-harinya menjabat sebagai Dekan Fakultas MIPA Universitas Pelita Harapan ini, ternyata terdapat sebuah cerita yang luar biasa dari seseorang yang dipanggil olehNya untuk melayani di ladangNya.

Pada waktu  SD dan SMP saya tidak menyukai Fisika karena lingkungan yang tidak mendukung. Keluarga kami berasal dari perkampungan kumuh Jakarta di daerah Klender yang biasa disebut orang sebagai ‘Pulo Kambing’.  Karena cuma orang biasa, orang tua tidak terlalu pusing saya mau jadi apa.  Tiga kakak saya yang tertua hanya bersekolah hingga SMA karena tidak ada biaya, yang 2 masuk ke sekolah pendeta, sedang yang 1 diangkat anak oleh kakak Mama saya.

Saya baru menyukai Fisika ketika di SMA  (SMAN 12). Waktu itu ada seorang guru bernama (Alm) Pak Handoyo yang dapat menerangkan Fisika dengan sangat menarik.  Berkat dorongan beliau, akhirnya saya memutuskan untuk memilih jurusan Fisika ketika mendaftar di Universitas Indonesia tahun 1981.

Tahun 1984, ketika saya sudah menjadi mahasiwa, saya mengikuti KKR berjudul “Kemana Arah Hidup” yang dibawakan oleh Pdt. Yeremia Lim.  Ketika pulang dari KKR, saya terus berpikir apa yang menjadi tujuan hidup saya. Saya pun mulai berdoa dan bertanya pada Tuhan apa yang Ia inginkan dalam hidup saya.

Akhirnya terpikir oleh saya untuk menjadi seorang ilmuwan yang dapat mengembangkan Fisika di Indonesia, tapi untuk itu tidak cukup kalau saya hanya lulus S-1. Saya harus bisa sekolah lagi di Amerika karena di sanalah pusat ilmu Fisika, tapi saya sungguh tidak tahu bagaimana caranya dan kemana jalurnya.

Walaupun begitu saya terus berusaha dan berdoa, termasuk mengikuti tes TOEFL (tes kemampuan berbahasa Inggris–red) dan mencari-cari jalan untuk bisa melanjutkan sekolah. Tak disangka, saya bertemu dengan seorang profesor dari Amerika yang memang sedang mencari murid di Indonesia. Saya dan 3 orang lainnya diwawancarai dan akhirnya diterima untuk mendapat beasiswa S-2 dan kemudian S-3 di College of William & Mary di Virgina, Amerika Serikat.

Menciptakan Momentum di Amerika


Tahun 1992 ketika saya sudah hampir lulus, saya kembali bertanya pada Tuhan, “Tuhan, apa selanjutnya yang harus saya lakukan?”. Tak lama kemudian saya melihat ada pengumuman penyelenggaran Olimpiade Fisika Internasional, yang anehnya diselenggarakan di kampus saya.  Pada saat itu, saya langsung tahu apa yang harus saya lakukan: mengundang siswa Indonesia ke olimpiade ini.

Bersama beberapa kawan dan dengan dibantu oleh Universitas, kami mencari 5 orang siswa SMA terbaik dari Indonesia untuk menjadi peserta olimpiade. Karena kekurangan sponsor, beberapa diantaranya terpaksa membayar sendiri biaya penerbangan mereka ke Amerika  Para peserta tiba 2 bulan sebelum olimpiade dilangsungkan dan mereka kami latih dengan cukup intensif. Materi training yang begitu banyak dan setara dengan pelajaran universitas memaksa kelima siswa ini belajar dari pukul 07.00 hingga jauh tengah malam setiap harinya. Beberapa siswa bahkan tidur hingga pukul 03.00 dinihari.

Saya sempat merasa semuanya akan sia-sia saja karena waktu latihan yang demikian singkat. Tapi ternyata hasilnya cukup mengejutkan karena salah seorang siswa, Oki Gunawan, berhasil menyabet medali perunggu pertama untuk Indonesia di turnamen sains yang dianggap paling berbobot ini. Pemenang utama saat itu adalah tim Rusia yang meraih 3 medali emas dan 2 perak.

Walaupun begitu, hasil ini telah cukup meyakinkan saya untuk terus melanjutkan misi ini. Ketika mengikuti olimpiade tahun berikutnya di Cina, tim Indonesia tidak berhasil mendapatkan apa-apa.  Soal-soal yang diajukan memang jauh lebih sulit, tetapi dari sini saya belajar bahwa untuk memiliki tim yang tangguh harus dilakukan persiapan yang matang.

Sementara itu, saya telah mendapatkan green card untuk menjadi penduduk tetap (Permanent Resident) di Amerika plus bekerja di pusat nuklir terbesar di dunia dengan gaji USD 5.000 per bulannya.  Walaupun begitu, saya merasa tidak sejahtera dan setelah bergumul selama beberapa waktu, akhirnya saya pun mengajak keluarga untuk pulang ke Indonesia.

Menempuh Jalan Yang Jarang Dilalui Orang (The Road Less Travelled)

Di Indonesia kami mengalami perubahan hidup yang cukup drastis. Sebagai calon pegawai pada tahun 1994, saya cuma dibayar Rp 65.000,- per bulannya oleh Universitas Indonesia. Untung saya dibantu oleh Pak Anugerah Pekerti yang memberi Rp 1 Juta Rupiah setiap bulannya untuk membiayai kehidupan saya dan keluarga.

Pilihan hidup seperti ini terasa berat sekali, terutama ketika saya harus meminjam Rp 20.000,- dari orang tua saya untuk ongkos transportasi agar bisa pulang ke rumah.  Kakak-kakak saya pun seringkali membantu saya dan keluarga untuk bisa bertahan.  Hal ini berlangsung hingga tahun 1996, karena di tahun ini saya mulai punya uang dari hasil penjualan buku.

Sementara itu Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) telah terbentuk. Pada tahun 1994, kami mulai bekerja sama dengan Departemen Pendidikan untuk mengadakan seleksi yang lebih menyebar, ke 27 propinsi di Indonesia. Diantara 1.400 pelajar yang mengikuti seleksi awal pada bulan Oktober 1994, terpilih 24 orang yang dapat mengikuti tahapan kualifikasi selanjutnya. Persiapan yang lebih matang ini membuahkan hasil yang menggembirakan pada tahun 1995 ketika TOFI memboyong satu medali perak, satu medali perunggu dan tiga penghargaan dari olimpiade di Australia.

Pada tahun 1996-1998 Olimpiade Fisika menjadi semakin populer. Saya melihat ini sebagai kecenderungan positif mengingat buruknya mutu pendidikan di beberapa tempat di Indonesia. Adalah penting memberikan kesempatan kepada para pelajar yang cemerlang untuk mencapai prestasi tanpa harus dikungkung oleh keterbatasan mereka secara ekonomi.

Para sponsor pun banyak membantu, termasuk Pak Radius Prawiro yang meminjamkan Wisma Kinasih plus menyediakan konsumsinya selama 2 bulan penuh untuk para peserta pelatihan.  Sejumlah universitas terkenal juga  menawarkan beasiswa bagi delapan pelajar yang terpilih.  Walaupun tidak mendapatkan perak (cuma 1 perunggu dan 4 penghargaan), olimpiade tahun 1996 di Oslo – Norwegia saya anggap berarti karena beberapa peserta berasal dari daerah pedesaan.

Tahun 1998 perusahaan yang menerbitkan buku saya bangkrut. Untung saya bertemu dengan Pak Mochtar Riady yang menganjurkan saya untuk bicara dengan Pak Yohanes Oentoro dari Universitas Pelita Harapan (UPH). Akhirnya saya pun diterima mengajar di UPH. Di sini gaji saya cukup untuk menghidupi keluarga dengan layak.  Sekretariat TOFI turut dipindahkan ke kampus UPH di Karawaci – Tangerang.

Tahun 1998 menjadi tahun yang terburuk, walaupun pimpinan Tuhan tetap terlihat jelas.  Kurs Rupiah yang tiba-tiba melonjak menjadi Rp 16.000,- /1 USD menyebabkan kami mendadak membutuhkan Rp 160 Juta Rupiah, padahal waktu keberangkatan ke olimpiade di Iceland tinggal seminggu lagi. Walaupun begitu, kebutuhan dana sebesar ini dapat teratasi tepat pada waktunya dengan sangat ajaib. Cuma sayang, kali ini TOFI tidak berhasil mendapatkan medali. Saya pikir kerusuhan Mei turut berpengaruh karena para peserta yang dilatih di Karawaci seringkali dibangunkan oleh para tetangga yang meminta mereka untuk ikut berpatroli selama kerusuhan berlangsung.

Kekosongan medali ini ditebus dengan ‘lompatan kuantum’ dalam olimpiade berikutnya di Padua - Italia, ketika TOFI mendapatkan medali emas pertama untuk Indonesia yang diraih oleh Made Agus Wirawan, seorang pelajar dari Bali.

Karena TOFI selalu kekurangan dana, saya mulai berpikir untuk mencoba berbisnis pada tahun 2000.  Ternyata Tuhan memberkati bisnis saya, sehingga kini saya maupun TOFI tidak perlu takut lagi kekurangan uang. Kini saya bahkan dapat membiayai dana sekretariat sebesar Rp 33 Juta Rupiah setiap bulannya.  Pemerintah pun membantu 50% dari dana training dan transportasi, sedang yang 50% sisanya diharapkan didapat dari sponsor. Jika tidak berhasil mendapat bantuan dari sponsor, saya harus mendanainya sendiri.

Kuasa Doa


Saya pikir, kunci keberhasilan dari apa yang saya dan saudara-saudara saya alami di bidang kami masing-masing adalah doa dari Papa dan Mama, tapi terutama dari Papa. Selama 10 tahun menjelang kematiannya, Papa menjadi pendoa full-time. Ia selalu bangun jam 4 pagi untuk berdoa hingga jam 5.30. Jam 11 ia kembali berdoa hingga sekitar jam 13.00.  Jam 17.00 ia akan melanjutkan doanya, dan di malam hari ia akan kembali berdoa.

Saya tidak pernah lupa dengan motta Papa yaitu bahwa ‘anak orang benar, cucunya tidak akan pernah meminta-minta.”   Dari sini saya melihat bahwa Papa memiliki iman yang sangat kuat. Tapi saya pun memang seringkali mendapatkan kekuatan dari doa bersama dengan teman-teman di persekutuan. Pada waktu ada pelatihan di Wisma Kinasih misalnya, teman-teman dari PERKANTAS selalu datang setiap minggunya untuk saling menguatkan dan berdoa bersama.

Karena itu, jika sekarang orang suka bertanya “Apa yang jadi pelayananmu?”, maka saya akan selalu menjawab “Olimpiade Fisika adalah ladang pelayanan saya.”** (GETLIFE – www.inspirasianda.com)

No comments:

Post a Comment

copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com


MamaOla