Tuesday, April 24, 2012

Transformasi, Why Oh Why?


Transformasi, Why Oh Why?
~Diary Jenny Jusuf ~

Curhat saya kali ini lebih artikelitis *halah* (baca: menyerupai artikel).
Tulisan mengenai transformasi di sebuah majalah Kristiani mencuri perhatian saya, segera setelah saya membukanya. Saya tidak terlalu tertarik pada judulnya, melainkan pertanyaan yang tercetak besar-besar di halaman berwarna cerah itu, yang kurang lebih berbunyi: Akankah transformasi betul-betul terjadi di Indonesia? Kenapa justru banyak bencana terjadi di negeri ini? Apakah Tuhan lalai akan janji dan nubuatan yang Ia berikan bertahun-tahun silam melalui hamba-hambaNya?
Beberapa tahun lalu, istilah ‘transformasi’ begitu populer sampai menjadi semacam ‘ikon’ dalam Gereja. Dimana pun kita beribadah, kata ini tercetak besar-besar di spanduk, banner, warta jemaat, dan tidak henti-hentinya dikumandangkan dalam khotbah, pujian-penyembahan maupun persekutuan komunitas. Topik ini menjadi tema utama dalam Gerakan Doa Nasional. Semua orang terkena ‘demam’ transformasi (maafkan kalimat saya, tapi saya tidak bisa menemukan kata yang lebih tepat untuk menggambarkannya).
Tahun demi tahun berlalu. Banyak peristiwa terjadi di negeri tercinta ini. Mulai dari kecelakaan pesawat terbang yang penuh misteri, wabah penyakit sampai bencana alam mahadahsyat yang mengguncang bangsa ini dengan sebuah pertanyaan besar: Di mana Tuhan? Kenapa Ia membiarkan semua ini terjadi?
Dan pertanyaan serupa (tanpa sadar) mulai menghantui Gereja, walau dalam wujud yang berbeda: Kenapa Tuhan berdiam diri dan tidak melakukan apa pun? Kenapa Ia membiarkan umatNya menderita? Bukankah Ia berjanji akan memulihkan Indonesia? Kenapa yang terjadi justru bencana dan berbagai peristiwa menyedihkan?
Pertanyaan itulah yang tersirat dalam artikel mengenai transformasi yang saya baca. Sejujurnya, pertanyaan tersebut mengusik saya. Secara saya tidak banyak menaruh atensi pada topik yang satu ini (baca: cuek bebek), saya nyaris tidak pernah mempertanyakan hal-hal tersebut. Saya memandang segala sesuatu yang terjadi ‘apa adanya’, dan walaupun sempat latah miris-miris dan panik-panik, akhirnya saya membiarkan peristiwa tersebut berlalu begitu saja.
Saya tidak pernah mempertanyakan why oh why ini terjadi, kok bisa, apa alasannya, dan seterusnya, sampai saya membaca artikel di majalah itu. Dan sejujurnya, saat membacanya pun, pemikiran pertama yang singgah di benak saya adalah, “Lha, kok jadi seperti ‘nyalahin’ Tuhan, ya?”
Seolah-olah, atas setiap hal yang terjadi, Tuhan-lah yang nomor satu ‘ketiban pulung’ dan dipertanyakan kedaulatanNya: Kenapa Ia berdiam diri? Kenapa Ia tidak bertindak?
Atau, karena Ia Allah yang berdaulat, secara langsung tak langsung kemahakuasaanNya dijadikan justifikasi atas berbagai ‘tuduhan’ yang memposisikanNya sebagai ‘terdakwa’, dengan pertanyaan, “Kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi? Apa maksud Tuhan?” – yang bagi saya hanya terdengar sebagai ‘penghalusan’ dari: “Kok Tuhan menimpakan bencana ini? Apa salah kita?”
*Peace ahhh :-D*
Maafkan saya karena berkata seperti ini, tapi kok ya saya merasa, pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan ke Tuhan itu agak kurang adil. Kurang adil bagi siapa? Ya bagi Tuhan.
Apa kabarnya pemerintah daerah yang memilih tutup mata dan membiarkan pembangunan merajalela tanpa kendali sampai daerah resapan air tergusur sedemikian rupa? Apa kabarnya pengabaian prosedur standar maskapai penerbangan dan kesalahan teknis yang sama sekali luput dari kontrol? Apa kabarnya pabrik raksasa yang luar biasa sembrono mengolah limbahnya sehingga mengakibatkan luapan lumpur yang tidak terbendung? Apa kabarnya penebangan liar dan eksploitasi sumber daya energi yang berlebihan? Apa kabarnya polusi, pemborosan, kecerobohan dan perilaku sembarangan bin semena-mena yang tanpa sadar KITA lakukan setiap hari, di mana-mana, terhadap lingkungan sekitar?
Adilkah bila kita ‘menimpakan’ semua akibat dari perbuatan manusia kepada Sang Pencipta dengan melegalisasi pertanyaan: “Kenapa Tuhan membiarkan bencana ini terjadi?”
Saya membayangkan, seandainya Tuhan menempatkan diri sebagai ABG belasan tahun, barangkali Ia akan mengajukan argumentasi yang sama seperti Cinta kepada Rangga di film AADC: “Terus kalo gitu, salah gue??” ;-D
Tebak-tebak buah manggis: kira-kira sulitkah bagi Tuhan untuk membawa bangsa Israel masuk ke Kanaan hanya dalam beberapa hari perjalanan?
Jarak Mesir-Kanaan tidak jauh. Kalau tidak salah, sebuah analisa geografis -yang saya lupa pernah baca di mana- malah mengatakan, hanya diperlukan waktu sekitar dua hari dari Mesir untuk menyeberang ke Kanaan. (sekali lagi, ini kalau saya nggak salah ingat. Kalau ada yang punya informasi lebih akurat, monggo diralat. Untuk referensi, silakan baca Keluaran 13:17-18 :-) )
Lepas dari berapa lama waktu yang dibutuhkan, terbukti memang ada jalan yang lebih dekat untuk sampai ke Kanaan. Pertanyaannya, kenapa Tuhan tidak memilih jalan itu untuk menyeberangkan bangsa Israel?
Pemikiran kedua: Okay, taruhlah mereka tidak punya pilihan lain kecuali melewati padang gurun, memang padang gurun segede apa yang membutuhkan 40 tahun untuk diseberangi?
Pada proses timbal balik yang (selalu) terdapat dalam penggenapan rencana Tuhan, respon dan kesiapan orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah faktor yang sangat menentukan terwujudnya janji/Firman/nubuatan itu.
Kembali ke ayat di atas, saya menyimpulkan, alasan Tuhan membawa bangsa Israel berputar-putar sekian lama adalah karena –secara sederhana- mereka belum siap untuk memasuki Kanaan.
Belum siap dalam hal apa? Saya memilih untuk tidak menjabarkannya secara detil, karena bukan itu fokusnya. Lagipula, kepanjangan untuk dirinci di sini. ;-)
Lha kalau belum siap, ngapain dong Tuhan membawa Israel keluar dari Mesir? Tanyakan padaNya. Soalnya bukan saya yang menyuruh Musa menghadap Firaun untuk membebaskan mereka. *wink*
Saya ingat kalimat yang pernah Ia ucapkan pada saya beberapa tahun silam. Ucapan tersebut diawali dengan dua pertanyaan, dan sukses membuat saya mati kata: “Apakah menurutmu sulit bagiKu untuk membawamu mengalami perwujudan janji dan panggilanKu?”
Saya terdiam, namun dalam hati mengakui: sama sekali tidak sulit. Ya iyalah, Ia ‘kan mahakuasa. Pencipta langit dan bumi. Kalau Ia menghendaki, apa pun bisa terjadi dalam sekejap mata.
Pertanyaan keduaNya adalah: “The question is, are you ready?”
Kali itu, saya betul-betul diam. Otak saya blank seketika. Selama bermenit-menit, saya hanya bisa duduk di kursi tanpa bergerak. Seluruh pikiran saya terfokus pada dua pertanyaan itu, sampai Ia kembali berkata: “Apapun panggilanmu, apapun janji yang kau terima, biarkan tanganKu membawamu ke sana.”
Saat itulah saya mengerti.
Terlalu sering kita mencoba memahami Firman yang Ia sampaikan dari sudut pandang manusiawi, dan berusaha mewujudkannya dengan kemampuan manusiawi yang sangat terbatas tanpa menimbang dan menelaah hidup kita terlebih dahulu.
Tidak ada yang salah dengan berusaha mewujudkan Firman. Yang membuat usaha tersebut menjadi ngawur adalah ketika kita menjalankannya dengan kehidupan yang masih terkontaminasi ambisi pribadi, pemahaman yang keliru, konflik batin, bayang-bayang masa lalu dan pencemaran-pencemaran lainnya.
Tuhan lebih memilih janji-janjiNya tertunda, daripada melihat kita hancur oleh penggenapan janji tersebut.
Kenapa bisa hancur? Kalau itu dari Tuhan, kan, Ia sendiri yang akan menjagai kita? Betul. Tuhan akan menjagai kita saat kita hidup dalam FirmanNya. Pertanyaannya adalah, jika hidup kita masih memiliki begitu banyak lubang di sana-sini dan hati kita belum terbebas dari kontaminasi agenda pribadi; ketika Tuhan mempromosikan kita (sebagai bagian dari penggenapan rencanaNya), bisakah kita menjamin kita tidak akan hanyut oleh pesona promosi itu?
Ketika Tuhan melimpahkan berkat secara materi untuk digunakan membangun negeri, bisakah kita menjamin mata ini tidak akan silau oleh dana sekian ratus miliar di rekening kita?
Ketika Tuhan menjadikan kita terkenal untuk menyuarakan FirmanNya, bisakah kita menjamin hati ini tidak akan berpaling dari kebenaranNya yang sejati untuk mengejar kepuasan manusiawi yang dengan mudah bisa didapat dari kepopuleran tersebut?
Ketika Tuhan mengangkat dan menempatkan kita pada posisi yang strategis untuk membuat keputusan yang dapat berdampak besar bagi seluruh negeri, bisakah kita menjamin hidup kita tetap lurus dan kita tidak tergoda untuk menyalahgunakan posisi itu demi mencapai ambisi pribadi?
Ketika Tuhan memakai kita untuk memulihkan kondisi bangsa dan mata banyak orang mulai tertuju kepada kita, bisakah kita menjamin bejana ini akan senantiasa terjaga kemurniannya?
Bisakah kita memastikan bahwa hati ini tidak akan berubah ‘jahat’ ketika Ia membawa kita ‘naik’? Bisakah kita memastikan bahwa hati ini tidak akan terpaling oleh posisi, jabatan, uang, popularitas, dan segala hal gemerlap lain -- yang tidak mungkin kita nikmati ketika masih berada di ‘bawah’? Bisakah kita memastikan bahwa bejana ini tidak akan hancur (justru) saat Ia mulai memenuhinya dengan anggur?
Ini pertanyaan penting, Jendral.
Jika jawaban kita adalah “Yah…”, “Sepertinya…”, “Tidak”, atau “Ragu-ragu”; mungkin, mungkin saja, kita belum siap mengalami perubahan besar yang disebut Transformasi. Bejana ini masih memerlukan perombakan, pembentukan dan pemurnian untuk membuatnya tahan uji -- tidak akan rusak bila digunakan menampung anggur.
Saya percaya Tuhan memiliki panggilan pribadi atas setiap orang. Saya percaya Ia telah memberikan visi, janji dan Firman -- dan itu semua akan tergenapi. Saya percaya Transformasi akan terjadi. Saya hidup untuk melihat Transformasi terwujud, dan saya akan mengalaminya sendiri. Saya percaya Saudara adalah bagian dari penggenapan Transformasi itu juga.
Tapi, kapan?! Saya tidak tahu, dan sebaiknya kita berhenti bertanya.
Mulailah bekerja sesuai kapasitas dan porsi kita masing-masing, dan jalanilah setiap pembentukan yang terdapat dalam proses itu dengan setia.
Ia bukan Tuhan yang lalai dan melupakan FirmanNya sendiri. Penggenapan janji hanya masalah waktu, dan waktu itu berada dalam genggamanNya yang perkasa. Ketika bejana ini terbukti siap untuk dipakai, Sang Pembangun Ulung tidak akan menunda lagi.
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah pesan: apa pun janji yang pernah Ia berikan, dan apa pun panggilan yang ditetapkannya atas Saudara, izinkan tanganNya sendiri membawa Saudara menggenapinya.
:-)

dc
Copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

copyright majalah GFRESH! www.anakmudanet.blogspot.com


MamaOla